Di sudut kamar kecil dengan lampu neon yang remang, Aruna duduk menatap layar ponselnya. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Udara terasa dingin, tetapi tubuhnya panas oleh rasa sakit yang membakar di dalam hatinya. Di tangan kirinya, sebuah pesan singkat yang belum ia kirim:
Aku nggak kuat lagi. Maaf.
Kata-kata itu singkat, tetapi berat. Seberat beban yang ia tanggung selama bertahun-tahun.
Di sekolah, Aruna adalah bayangan. Ia ada, tapi tak pernah benar-benar terlihat. Ketika teman-temannya tertawa bersama, ia hanya duduk di pojok, memandangi dinding kosong. Tak ada yang menyadari bagaimana ia merindukan sapaan sederhana atau sekadar senyum tulus.
Di rumah, keadaan tak lebih baik. Ayahnya sibuk bekerja, ibunya tenggelam dalam urusan rumah tangga, dan kakaknya selalu tampak lebih sempurna. Aruna adalah noda kecil dalam lukisan keluarga mereka. “Kenapa nggak bisa kayak kakakmu? Dia selalu bikin kami bangga,” kata ibunya suatu hari. Kata-kata itu seperti pisau yang mengoyak hatinya.
Malam ini, di bawah naungan gelap dan sunyi, Aruna merasa sendirian lebih dari sebelumnya. Pikirannya gelap, seperti lubang tanpa dasar. Ia menghapus pesan yang tadi ditulisnya, lalu menulis ulang:
Aku capek jadi orang yang nggak pernah cukup.
Tapi saat ia hendak mengirim pesan itu, sebuah suara kecil muncul di pikirannya. Sebuah pertanyaan yang samar namun kuat: Bagaimana jika ini bukan akhir? Suara itu mengusiknya.
Aruna terdiam. Tangannya gemetar. Ia membuka sebuah aplikasi media sosial, tempat ia biasa menulis puisi-puisi kecil yang tak pernah mendapat banyak perhatian. Tapi malam ini, ada notifikasi baru. Seseorang mengomentari puisinya: “Aku nggak tahu siapa kamu, tapi puisi ini nyentuh banget. Terima kasih udah nulis ini. Kamu hebat.”
Air mata Aruna jatuh tanpa ia sadari. Komentar itu sederhana, tetapi hangat. Ia membaca ulang puisinya sendiri, tentang rasa lelah yang ia tuangkan beberapa minggu lalu. Malam itu, ia merasa seseorang melihatnya, walau dari jauh.
Aruna memutuskan untuk menghapus pesan terakhirnya. Ia mengambil napas dalam, lalu mencari nomor konselor sekolah yang pernah ia simpan. Dengan hati-hati, ia mengetik pesan:
“Bu, bolehkah saya bicara? Saya merasa tidak baik-baik saja.”
Pagi itu, langit terlihat lebih terang bagi Aruna. Meski jalan di depannya masih panjang, ia tahu bahwa malam kelam itu telah memberinya pelajaran. Hidup adalah perjalanan dengan tikungan tajam, tapi ada suara-suara kecil, bahkan di tempat yang tak terduga, yang bisa menyelamatkan. Ia memilih untuk mendengar suara itu dan melangkah pelan-pelan menuju cahaya.
Satu minggu berlalu sejak malam itu, dan Aruna mendapati dirinya duduk di ruang konseling sekolah. Di hadapannya, Ibu Rina tersenyum lembut sambil berkata, “Terima kasih sudah mau datang dan berbagi ceritamu, Aruna. Ini langkah yang sangat berani.”
Aruna mengangguk pelan. Awalnya, berbicara terasa sulit. Tapi perlahan, ia mulai menceritakan segala rasa sakit yang ia pendam. Ibu Rina mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menyela, hanya sesekali menanyakan hal-hal kecil untuk memahaminya lebih baik.
Di akhir sesi, Ibu Rina berkata, “Aruna, kamu tidak sendirian. Kita akan melewati ini bersama, langkah demi langkah. Kalau kamu butuh teman bicara di luar jam sekolah, aku juga ada.”
Kata-kata itu menenangkan hati Aruna. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang dewasa yang benar-benar peduli tanpa menghakimi. Langkah kecil yang ia ambil ternyata membuka jalan menuju harapan yang lebih besar.
Hari-hari berikutnya, Aruna mulai menulis lagi, tetapi kali ini bukan hanya tentang rasa sakit. Ia menulis tentang harapan, tentang pagi yang datang setelah malam panjang, dan tentang kekuatan kecil yang ia temukan dalam dirinya. Puisinya mulai mendapat perhatian lebih banyak di media sosial, dan ia menerima lebih banyak komentar positif.
Suatu malam, saat ia membaca ulang puisi-puisinya, Aruna mendapat pesan dari seseorang yang tidak ia kenal. “Puisi kamu menyelamatkan aku. Terima kasih sudah menulis ini.”
Pesan itu membuatnya tersenyum. Ia teringat bagaimana satu komentar kecil pernah menyelamatkannya. Kini, ia tahu bahwa kata-katanya juga memiliki kekuatan untuk menyelamatkan orang lain.
Di bawah cahaya bulan, Aruna menulis satu baris baru di buku catatannya:
Malam mungkin panjang,
tapi pagi selalu datang,
dan di setiap gelap,
ada cahaya yang menunggu.
*Karya: SP
Terimakasih SP. Cerita sederhana yang penuh makna, menghangatkan dan menyentuh hati. Sambil tersenyum membacanya saya sambil menghapus air mata.