Langit Jakarta mulai berubah jingga, menyisakan siluet gedung-gedung tinggi yang seperti berlomba menyentuh awan. Di sebuah kamar sederhana, Dika duduk sendirian di tepi ranjangnya. Di tangannya, sebuah surat yang ia tulis sejak pagi tadi, penuh coretan dan bekas air mata. Malam ini, ia merasa, adalah malam terakhirnya.
Di sekolah, Dika dikenal sebagai siswa yang pendiam. Nilainya tak terlalu buruk, tapi juga tak pernah cukup baik untuk mendapat pujian. Setiap kali ia mencoba berbicara, teman-temannya hanya tertawa kecil atau mengabaikannya. Di rumah, keadaan tak jauh berbeda. Ayahnya sibuk bekerja, ibunya sibuk dengan usaha katering, dan adik-adiknya selalu jadi pusat perhatian.
“Kenapa aku selalu merasa sendirian?” pikir Dika, memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya yang sembap memandang balik, penuh rasa lelah dan hampa. Ia merasa seperti potongan puzzle yang tak pernah pas di mana pun.
Namun, ada satu hal yang Dika suka: menggambar. Di buku sketsanya, ia menciptakan dunia yang ia harapkan. Sebuah tempat yang penuh warna, di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Tapi bahkan hobinya itu sering kali dianggap sepele. “Ngapain sih buang-buang waktu gambar? Lebih baik belajar yang bener,” ujar ayahnya suatu hari.
Hari itu, di sekolah, semuanya terasa memuncak. Seorang teman sekelasnya dengan sengaja merobek salah satu sketsa terbaiknya. Teman-temannya hanya tertawa. Guru yang melihat hanya berkata, “Sudah, jangan berlebihan, Dika.” Tidak ada yang peduli.
Malam itu, Dika memutuskan bahwa ia tak ingin lagi merasa sakit. Surat di tangannya adalah ungkapan terakhir, harapan kecil bahwa mungkin, setelah ia pergi, seseorang akan membaca dan memahami rasa yang ia simpan selama ini.
Namun, tepat saat ia hendak melangkah ke balkon, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Kak Fina, kakak kelas yang juga mentor rohaninya di sekolah: “Dik, aku cuma mau bilang, gambar yang kamu posting kemarin keren banget! Kalau ada waktu, ajarin aku gambar ya. Kamu berbakat banget, loh. Jangan berhenti berkarya, ya. Tuhan kasih talenta itu pasti untuk tujuan yang besar.”
Dika tertegun. Kata-kata itu seperti memukulnya keras, tapi bukan dengan rasa sakit. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya.
Air mata mengalir lagi di pipinya, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ia duduk kembali di ranjang, menatap surat di tangannya. Perlahan, ia merobek surat itu. Malam ini, ia memilih untuk bertahan.
Keesokan harinya, Dika membawa buku sketsanya ke sekolah. Ia bertemu Kak Fina di perpustakaan, dan untuk pertama kalinya, ia membuka diri tentang apa yang ia rasakan selama ini. Kak Fina mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi, tanpa menyela.
Sejak hari itu, Dika memutuskan untuk mencoba langkah kecil: berbicara. Kepada Kak Fina, kepada teman-teman yang benar-benar peduli, dan kepada orang tuanya. Tak semuanya berjalan mulus, tapi ia belajar bahwa berbicara adalah bagian dari proses menyembuhkan.
Bagi Dika, malam itu bukanlah akhir. Itu adalah awal dari perjalanan panjang untuk menemukan dirinya sendiri. Dan ia tahu, meskipun jalannya sulit, ia tidak lagi sendirian.
*Karya: SP