Kisah Penyintas Bunuh Diri - "Ketika semua tidak sesuai rencanaku"

Hai teman-teman. Apa kabar? Aku berharap kabar kalian Good ya. Anyway, aku ingin perkenalkan diriku dulu, kalian bisa panggil aku Dina, dan aku seorang penyintas bunuh diri. Aku ingin berbagi kisah hidupku sama kalian, khususnya story tentang keinginanku untuk bunuh diri. Aku berharap kisah ini memberikan pemahaman untuk kalian semua agar tidak meremehkan seseorang yang bermasalah seperti aku.
This is my story. Pemikiran pertama bunuh diri pertama kali tercetus waktu aku SMP. Saat itu kondisi keluargaku sedang tidak baik. My Mom meninggal dunia, and then papaku menikah lagi. Aku punya kakak but aku tidak dekat dengan kakakku. Aku benar-benar merasa sendiri, tidak punya siapa-siapa. Aku terpikir, “apa aku menyusul mama saja ya?”
Namun, saat itu aku mengurungkan niat melalukan bunuh diri karena merasa masih punya masa depan. Aku belum mencicipi masa depan. Lagipula, saat itu belum ada trigger yang benar-benar kencang untuk aku melakukan bunuh diri.
Pemikiran bunuh diri muncul lagi setelah SMA. Saat itu i’m failed kuliah ke Jepang. Terus aku mencoba mendaftar ke kampus yang aku inginkan di Indonesia, tapi ditolak. Akhirnya aku masuk ke kampus yang sekarang sedang kujalani. Dan ini sama sekali nggak sesuai dengan rencana di pikiranku. Dan di situ pecahlah segalanya.
Menjadi seorang mahasiswa aku mengalami shock culture, lingkungan kampus jauh berbeda ketimbang waktu aku SMP dan SMA. Aku nggak punya teman sama sekali, nggak punya support system, stres banget. Aku merasa “jadi begini ya rasanya nggak punya teman, hidup nggak ada yang membutuhkan, nggak ada yang menemani”. Aku desperate, I’m lonely. Kesendirian itu nggak enak sama sekali. Ditambah aku didiagnosa bipolar. Aku nggak punya teman untuk cerita, nggak punya siapa-siapa. Bahkan paling mengerikan, waktu itu keluargaku sama sekali nggak tahu aku bipolar.
Selama aku menjalani pengobatan di rumah sakit, aku pakai uangku sendiri untuk menutupi. Saat itu aku merasa ada stigma negatif dari keluarga dan dari masyarakat bahwa mencari bantuan kesehatan jiwa seperti ke konselor, psikolog atau psikiater itu gila, dianggap kurang iman. Aku malas mendengar perkataan itu, that’s way aku memilih diam. Stigma “kurang iman” yang dikatakan kepada orang yang sedang berpikir untuk bunuh diri itu salah besar. Mereka tuh nggak tahu betapa orang itu sudah berjuang. Jangan anggap orang depresi itu kurang iman atau lemah.
Ada fase-fase aku depresi, fase-fase aku kambuh jadi memperparah keinginan bunuh diri. Rentang waktu aku masuk kuliah sampai mencoba bunuh diri, 1,5 tahun. Dan rentang waktu sejak aku didiagnosa bipolar sampai mencoba bunuh diri itu enam bulan. Percobaan bunuh diri yang aku lakukan ternyata nggak mematikan. Aku mencoba bangkit dan mencoba mencari pertolongan.
Setelah percobaan itu gagal, aku merasa ada secercah harapan hidup. Aku tidak terpikir untuk melanjutkan percobaan karena ada temanku yang mencoba menghalangi. Di situ hatiku mungkin tergerak. Guys, perhatian kecil seorang teman itu powerfull banget buat orang-orang seperti aku.
Di rumah sakit, ketika aku dirawat setelah mencoba bunuh diri, dokter menelepon papaku untuk menjelaskan kondisiku. Kalian tahu, My Dad malah marah-marah. “Kamu ngapain di rumah sakit? Kamu nggak sakit fisik kan? Ayo pulang!”.
Jujur… Aku sedih banget di situ. Kata-kata “kamu nggak sakit fisik kan?” membuatku sangat sedih. Aku merasa disepelekan. Padahal, sakit mentalku dan masalahku yang berujung ke percobaan bunuh diri, parah banget dan membahayakan hidupku sendiri, tapi Papaku anggap itu bukan masalah yang serius. Saat itu, aku ngerasa down banget, aku langsung nangis, dan berpikir “it’s finish”.
Bersyukurnya, akhirnya Papaku diedukasi oleh dokter berjam-jam, hingga akhirnya ia menerima dan mengerti tentang keadaan anaknya. Papaku sekarang jadi orang yang peduli banget sama aku. Dia ikut grup kepedulian bipolar. Dia suka menawarkan untuk datang ke seminar tentang kesehatan mental. Bunuh diri memang tidak dibenarkan, tapi ada blessing in disguise dari percobaan bunuh diriku. Sekarang aku bersyukur. Aku jadi disayang banget, benar-benar dipedulikan kesehatan mentalnya.
Guys… Support keluarga itu penting banget buat orang-orang seperti aku. Namun kalau sampai saat ini keluargamu belum jadi support system yang seharusnya bisa mendukung dan menolong kamu, kamu jangan menyerah. Kamu bisa mencari pertolongan kepada professional atau lembaga yang bisa membantu kamu, salah satunya kamu bisa hubungi Puzzle of Life di www.puzzleoflife.id atau 0822-9800-0817 untuk konsultasikan dirimu jika punya kecenderungan keinginan bunuh diri.